Archive | March 2008

Perlawanan Memecah Keheningan

Cover : subcomandante
Judul Buku : Atas dan Bawah : Topeng dan Keheningan
Penulis : Subcomandante Marcos
Penerbit : Resist Book
Harga : Rp 35.000
Halaman : 1iii – 302 halaman (kertas CD impor)
Ukuran : 14 x 21 cm
ISBN : 979-3723-61-0
Cetakan-ke : I, Desember 2005
Resensi :  
Ia adalah Subcomandante Insurgente Marcos, dikenal sebagai Marcos atau Subcomandante saja. Itulah nama perangnya, diambil dari nama sahabat karibnya yang tewas dalam perang EZLN atau Zapatista Army of National Liberation ketika memberontak melawan pemerintahan boneka Meksiko. Tidak ada yang mengetahui nama aslinya semenjak ia diangkat menjadi perwakilan EZLN. Marcos merupakan seorang sosok yang dikenal selalu tampil dengan masker penutup wajah dan cangklong tembakaunya. Ia berjuang terutama melalui tulisannya yang mengguncang dunia mengenai perlawanannya terhadap neoliberalisme.

Secara rutin, Marcos selalu mempublikasikan esai-nya mengenai tingkah polah Amerika Serikat beserta senjata paham neoliberalismenya, bagaimana dunia ketiga dipermainkan melalui ketergantungan ekonomi, serta kebobrokan pemeritahan Meksiko. Buku ini berisi kumpulan catatan-catatan Marcos (seluruhnya dipilih dari buku Bayang Tak Berwajah, kecuali satu dari buku Kata adalah Senjata)

Membaca tulisannya, kita seperti sedang berhadapan dengan seorang ahli politik sekaligus mahir dalam bercerita, seorang filosofis yang pemberontak, serta ahli dalam membuat lawakan-lawakan yang segar. Ia sangat pandai dalam memainkan kata-katanya. Ia menuturkan gagasan politiknya mengenai Zapatista selayaknya seorang penyair muda bercerita mengenai tokoh karangannya. Politik, yang biasanya menjadi bahasan yang berat dan susah dicerna, diceritakan selayaknya kisah pengantar tidur. Mengalir dengan tutur kata yang indah sehingga membuat pembacanya merasa penasaran untuk membaca bagian selanjutnya.

Pada buku ini, penerbit kembali menyajikan kompilasi dari komunike politik Marcos yang ditulis dengan gaya bahasa memikat. Melalui tulisannya, Marcos mengupas kebobrokan dunia baru yang dibangun dengan landasan prinsip neo-liberalisme dan pasar bebas. Bahwa bagaimana prinsip tersebut hanya mengutamakan kaum pemilik modal, dan menghancurkan masa depan kaum pekerja dari dunia ketiga. Dengan pasar bebas, kita bebas untuk membeli barang di manapun, tetapi toko-tokonya sama dan merk-merk nya juga sama. Ia menggambarkan pasar bebas sebagai kebebasan awal palsu dalam tirani dagang, dimana penawaran bebas dan permintaan bebas terkoyak sudah dan digantikan dengan kepentingan pemilik modal.

Selain menyinggung ide besar, terkadang Marcos juga sering menyelipkan humor-humor yang menyegarkan. Kita bisa menyimaknya pada tulisan pertama di buku ini, “Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan”. Olok-oloknya terhadap kebobrokan pemerintah Meksiko, disisipinya dengan kutipan-kutipan dari Hamlet karya William Shakespeare dan dibumbui dengan banyolan tentang laporan militer. Bahkan, untuk membangun humor-humornya, ia sampai menciptakan tokoh imajinatif yang bernama Don Durito. Kita akan seringkali menemui tokoh ini dalam tulisannya.

Pada tulisan kedua “Tujuh Pertanyaan Kepada Siapa yang Berkenan”, Marcos mengajak kita untuk memahami akibat neoliberalisme di Meksiko, dengan cara yang sulit dibayangkan: melalui kutipan-kutipan dari kisah Don Quixote, melalui kisah bijak dari Indian tua bernama Antonio, untuk kemudian diakhiri dengan sindiran terhadap pemerintah dan militer Meksiko, yang dijamin membuat pembaca termenung lalu terbahak.

Pada tulisan ketiga “Periskop Terbalik”, Marcos mengajak pembacanya melihat “dunia bawah” yang sering luput dari perhatian “dunia atas”. Pembaca dipandu melalui kisah-kisah bijak dan lucu dari Pak Tua Antonio, dari kutipan-kutipan kalimat Umberto Eco, bahkan melalui pembicaraan Humpty Dumpty dengan Alice dari kisah Alice in the Wonderland!

Ada 10 tulisan dan tiga pidato serta wawancara yang dihimpun dalam buku ini. Dari karya-karyanya, kita bisa merasakan semangat yang juga dibawa pahlawan besar Amerika Latin, Ernesto “Che” Guevara. Semangat itu dirumuskan Marcos sebagai “sebuah semangat pembebasan menuju sebuah dunia yang lain, di mana dunia-dunia yang lain bisa hidup dan tumbuh.”

Marcos juga menekankan bahwa perjuangan terhadap keadilan tidak akan pernah berakhir. Selama masih terdapat ketidakadilan di dunia ini, revolusi akan senantiasa berlangsung. Tidak ada kata “sejarah sudah berakhir”, seperti yang senantiasa yang didengungkan oleh anti-revolusioner. Untuk itu, diperlukan imajinasi yang kuat serta keberanian untuk menentang ketidakadilan. Selama imajinasi tidak bisa ditindas, maka peluang bagi revolusi senantiasa terbuka. Revolusi harusnya dianggap sebagai kritik yang keras bagi pemerintah, dan bukannya semata-mata untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Sebuah sikap mental yang seharusnya dimiliki oleh semua warga bangsa di dunia untuk menjamin keadilan.

Secara keseluruhan, saya menganggap buku ini cukup layak untuk dibaca. Memberikan gagasan alternatif bagaimana seharusnya dunia ini dibangun dari sudut pandang seorang Zapatista. Sebagai sebuah tulisan dalam bahasa asing – Spanyol, penerbit memberikan terjemahan yang cukup baik ke dalam bahasa Indonesia. Dicetak dalam kertas buram impor, menambah aura yang dipancarkanya. Selayaknya kita sedang membaca coretan tangan Marcos itu sendiri. Cover yang dipilih pun sangat menggambarkan bagaimana melankolisnya seorang Marcos dan tulisannya. Sebuah kumpulan karya yang menakjubkan.

Kata Tak Bertuan

“Kami warga Saritem mendukung Pembangunan PLTS Gede Bage”

Begitulah bunyi sebuah selembaran tembok yang setiap pagi kubaca sebelum tiba di ruang kuliah. Sebuah metafora yang mengkritik proyek pembangunan Pembangkit listrik tenaga sampah yang tidak layak secara AMDAL; menyatakan bahwa barang siapa yang mendukung pembangunannya, sama saja seperti komunitas warga lokalisasi yang dianggap terhina. Sepenggal kalimat dalam kertas kuning berukuran sekitar sepuluh sentimeter ini merupakan satu dari sekumpulan kata-kata tak bertuan yang terpampang pada sudut-sudut paling strategis dari kampus teknologi terbaik di negeri ini. Itulah buah karya dari individu-individu berotak brilian namun bermental lemah yang dihasilkan dari sistem pendidikan berbasis kompetensi di kampus ini.Sebuah pernyataan bernada kritik pedas yang dibuat dengan menggunakan berbagai teknik sastra yang pernah mereka pelajari; sarkasme, metafora, hiperbola, dan yang lainnya. Dari beragam pernyataan tersebut, terdapat sebuah persamaan yang cukup jelas, yakni mereka tak bertuan. Tuan-tuan mereka bersembunyi di kolong meja gambar, di balik papan keyboard, ataupun di belakang mesin bubut dari suatu laboratorium. 

Melihat kenyataan ini, aku selalu bertanya-tanya sendiri di dalam hati, mungkinkah ini sebuah mekanisme komunikasi di antara orang-orang jenius tersebut. Berharap agar aspirasinya yang kelewat tajam hanya dapat disintesis oleh orang-orang pintar disekitarnya. Dan, ketika ada orang bodoh nan oportunis membacanya, mereka kesulitan dalam menerka makna implisitnya. Sebuah metode yang secara efektif diterapkan dalam komunikasi dalam komunitas semut, juga organisasi rahasia ilmuwan eropa abad 18.Pesan-pesan yang dibungkus dengan sandi pengaburan makna,metafora. Selayaknya display hologram, yang hanya akan menunjukan wujud utamanya jika dilihat dari suatu sisi yang benar.

Namun, pada kenyataannya fenomena ini hanyalah sebuah skenario besar dari kepengecutan. Sebuah produk mental hasil tempaan dari suatu jaman yang pernah berkuasa selama tiga puluh dua tahun di negeri ini. Era dimana perbedaan pendapat dianggap sebagai tantangan kepada penguasa. Sehingga pelakunya akan diberi bingkisan kematian sebagai upah pemikirannya. Keadaan ini memaksa penulis yang kritis untuk pintar-pintar dalam menyembunyikan identitas, jika tidak ingin mengakhiri hidupnya dalam karung goni. Pun setelah era itu tumbang, kondisi demikian ini tidak pernah berubah. Selayaknya buah mangga yang semakin diperam semakin matang, mental pengecut seperti sudah terinstal di dalam urat nadi setiap insan di negeri ini. Berani berinisiasi namun enggan untuk mengemban tanggung jawabnya. 

Semenjak era reformasi, parade kepengecutan secara rutin terus dipertunjukan di negeri ini. Orang-orang berani dengan lantang menyuarakan isi kepalanya jika dibelakangi oleh massa yang kuat. Mereka membentuk aliansi seperti ada yang ingin meyerang balik, mengkoyak-koyak isi kepala, memperkosa keluarga, dan menindas komunitasnya. Selayaknya pendapat yang mereka utarakan adalah pasukan kamikaze Jepang yang memporak-porandakan pangkalan militer Amerika, dan mereka bersiap-siaga atas kemungkinan serangan balik yang dilancarkan dalam waktu dekat. Sebuah ketakutan yang tidak berdasar, sebuah ketakutan yang timbul karena perasaan takut itu sendiri.

Fenomena anonimitas ini juga membuat komunitas kehilangan akal sehatnya. Jalan pintas tersebut membuat mereka melupakan kemungkinan adaya solusi alternatif. Dibanding bermusyawarah untuk membentuk solusi yang konstruktif, mereka ini lebih tertarik untuk memenuhi ego-nya. Menganggap pendapatnya saja lah satu-satunya kebenaran; yang lain adalah kebodohan; musyawarah hanya akan merusak kebenaran dengan kegilaan. Atau mungkin juga mereka takut kalah dalam berargumen. Mereka menganggap bahwa anonimitas ialah solusi yang efektif, juga tanpa resiko. Oleh karenanya, inilah jalan yang mereka tempuh.

Anonimitas juga merupakan sebuah media pembelajaran yang sangat baik dalam berpikir pendek dan menumpulkan empati. Pelakunya dilatih untuk melupakan konsekuensi sosial yang bisa timbul dari suatu pernyataan. Mereka tidak perlu takut nama baiknya tercemar karena tulisannya, karena memang tidak ada yang tahu. Berkebalikan dari pujangga-pujangga masa lalu yang mengandalkan anonimitas untuk menghindari kemasyuran, anonimis jaman sekarang berusaha untuk menghindari umpatan dan tanggung jawab.

 yahh….kita terima saja semua kelemahan generasi kita dengan lapang dada